Senyumnya adalah
bagian yang paling kuhafal. Setiap hari kunikmati senyum itu sebagai salah satu
pasokan energiku. Kali ini pun sama, ketika ku pandangi ia yang sedang menulis
sesuatu dikertasnya. Matanya sesekali mengarah padaku, ia menyimpulkan senyum
itu lagi.
Aku yang sedang
menggambar sketsa wajahnya, memerhatikan setiap lekuk pahatan tangan Tuhan.
Detail wajahnya tak ku lewati seinci pun. Hidungnya yang tak terlalu mancung,
pipi dan rahang yang sempurna, dan bentuk bibir yang mencuri perhatian siapapun
yang menatap lengkungan senyum itu. Aku penggemarnya, seseorang yang
mencintainya tanpa banyak ucap, namun dengan tindakan nyata.
Secara
terang-terangan, aku tak pernah bilang cinta, namun selalu ku tunjukkan rasa.
Entah lewat sentuhan, perhatian, dan caraku membangun percakapan. Aku
mencintainya. Terlalu mencintainya. Sampai-sampai aku tak sadar bahwa kedekatan
kita semakin tak terkendalikan, meskipun semua singkat, tapi rasanya cinta
begitu terburu-buru mengetuk pintu hatiku.
Di sebuah taman,
tempat kami bertemu, tempat kami biasa melakukan hal sederhana yang begitu kami
cintai. Ia menulis tentangku. Aku menggambar sosoknya. Setelah karya kami
sama-sama selesai, kami saling menukar hasil jemari kami.
“Kamu pernah takut
dengan rasa kehilangan?” ucapnya lirih di sela-sela gerakan jemarinya yang
masih menulis sesuatu di kertas.
“Pernah dan aku tak
akan mau lagi merasakan perasaan itu.” Jawabku secepat mungkin, jemariku masih
memperbaiki gambarku yang hampir selesai. Kuperhatikan lagi bentuk wajahnya.
Seandainya aku punya keberanian untuk menyentuh wajah itu, selancang ketika aku
menyentuh batang pensil saat menggambar.
“Kalau kau sudah
berusaha begitu kuat, namun kautetap bertemu pada rasa kehilangan, apa yang
akan kau lakukan?”
Kubiarkan pertanyaannya menggantung di udara
sesaat. Kuberi jeda waktu agar ia masih bertanya-tanya pada rasa penasaran
dalam hatinya. Semilir angin dan goresan pensilku di kertas lebih terdengar
jelas dalam keheningan kami berdua.
“Apa yang akan aku
lakukan?” aku mengulang pertanyaan darinya, semakin membangun rasa penasarannya
yang membesar.
Keningnya mengkerut
ketika pertanyaan kuulang, “Iya, apa yang akan kaulakukan jika rasa kehilangan
tiba-tiba menyergapmu meskipun kamu sudah berusaha keras untuk menggenggam?”
Helaan napasku
terdengan santai, “Aku akan selalu bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku
harus merasakan kehilangan. Setelah aku tau jawabannya, demi apapun, aku tak
akan mengulang kesalahanku lagi. Dan, aku akan semakin memaknai pertemuan
sebagai hal yang tak boleh disia-siakan.”
Jawabku membuat ia
semakin tajam menatp wajahku, aku yang menunduk dan masih menggambar, jadi
salah tingkah ditatap dengan tatapan seperti itu. Ia arahkan jemarinya keatas
kepalaku dan membelai rambutku. Aku tak tahu maksud dari sentuhan itu, entah
mengapa seketika tubuhku tak bisa memberi banyak tanggapan atas sentuhannya.
Aku belum bisa merasakan adanya cinta dalam setiap sentuhannya.
Ia kembali menulis,
kuintip sedikit ternyata kertas tempat ia menulis sudah hamper penuh. Dengan
matanya yang indah, ia kembali meminta perhatianku, “Aku merindukan dia.”
“Wanita itu lagi?”
tanggapku dengan cepat.
Ada sesuatu yang
bergerak dalam dadaku ketika ia mengucap kalimat singkat itu. Terdengar singkat
memang, tapi entah bagaimana rasanya aku harus butuh waktu lama agar tak merasa
sakit dengan pernyataan yang seperti itu. Kali ini, aku merasa dianggap tak
ada.
“Aku selalu bilang
padamu, setiap hati, berkali-kali, tak perlu lagi kamu merindukan seseorang
yang bahkan tak pernah menghargai perasaanmu!”
Senyumnya terlihat
getir ketika aku berbicara dengan nada tinggi.
“Apakah bagimu, ada
kehilangan yang tak menyakitkan?”
“Semua kehilangan
pasti menyakitkan, kita sebagai manusia hanya bisa mengobati setiap luka,
sendirian atau bersama seseorang yang baru. Itu semua pilihan yang kita
tentukan sendiri.”
Tanpa menatap wajahku,
ia kembali mengajakku bicara, “Apakah obat pengering dari luka basah bernama
kehilangan?”
Aku berhenti
menggambar. Kuketuk-ketuk pensilku di atas kertas dan berpikir dengan serius.
“Luka pasti kering, tapi bekasnya akan selalu ada. Keikhlasan dan kepasrahanlah
yang membuat bekas luka tak lagi perih.”
“Lantas, apa lagi?”
“Membuka hati untuk
seseorang yang baru!” seruku dengan nada bersemangat, dengan senyum singkat.
“Ah, tapi bukankah
semua butuh waktu? Termasuk juga soal cinta.”
“Tapi, sampai kapan
kaubutuh waktu? Sampai orang yang mencintaimu pada akhirnya memilih pergi,
karena tak terlalu kuat diabaikan berkali-kali?”
Aku tertawa dalam
hati, menertawai diri sendiri.
“Lihatlah, kamu melucu!” ia ikut tertawa sambil
terus melanjutkan tulisannya, “Cinta memang butuh waktu dan waktu yang
dibutuhkan cinta adalah teka-teki yang sulit diprediksi.”
“Ah, kamu ini, semua
hanya soal kesiapan hati.” Bibirku meringis, mencoba menutupi hatiku yang mulai
nyeri, “Jangan pernah takut dengan orang baru yang datang kedalam hatimu,
karena ia tak ingin banyak hal, selain membahagiakanmu.”
“Aku juga berpikir
begitu, tapi aku takut jika luka yang masih kubawa, akan menjadi luka baru di
hati orang yang mencoba masuk kedalam hatiku.”
“Bagi orang yang ingin
membahagiakanmu, tak akan pernah ada luka, meskipun cinta yang ia tunjukkan
begitu lambat kaurasakan.”
“Tak akan pernah ada
luka?” tanyanya dengan wajah tak percaya, ia menatapku sekali lagi, dengan
tatapan sangat serius, kali ini.
“Ketika tulus
mencintai seseorang, ia akan melakukan banyak hal karena ia mencintaimu, bukan
karena ia memikirkan apa yang akan ia dapatkan ketika ia mencintaimu.”
“Begitu manisnya
cinta…..”
“Lebih manis lagi jika
tak hanya satu orang yang berjuang untuk membahagiakan, harus saling
membahagiakam.”
Kalimatku membuatnya
tersenyum lebar. Ia membubuhi tanda tangan untuk mengakhiri karya tulisnya
dikertas. Aku menulis namaku dan tanggal pebuatan gambar ketika aku selesai menggoreskan
goresan terakhir.
Setelah harya tulisnya
selesai dan karya gambarku selesai. Kebiasaan itu terulang, kami saling menutup
mata sebelum dia melihat gambarku dan aku membaca tulisannya ketika karyanya
ada di tanganku dan karyaku ada di tangannya, kami pada akhirnya membuka mata.
Ia menikmati gambarku
dengan senyum memesona, senyum paling kucintai dan kukagumi. Gambarku adalah
sosoknya yang kujadikan sketsa dikertas A4. Aku tak melewatkan detail wajahnya
yang indah. Ia mengucapkan terima kasih. Aku bisa menebak wajahnya yang terharu
ketika karya itu ku beri judul Masa
Depan.
Giliran aku yang
membaca karya tulisnya. Awalnya, kukira ia menulis tentangku, tapi ternyata aku
salah. Ia menulis tentang seseorang yang bukan aku, seseorang yang hidup dalam
masalalu dan kenangannya. Hatiku teriris membaca setiap paragraph dalam
tulisannya, tak ada aku disana. Aku hanya membaca tentang sosok lain, sosok
yang dulu ia ceritakan dengan wajah sedih, sosok yang begitu kubenci karena
menyia-nyiakan seseorang yang kucintai saat ini. Karya tulis itu ia beri judul Masa Lalu.
Aku mengulum bibirku.
Usahaku masih terlalu dangkal baginya. Cinta yang kutunjukkan ternyata belum
cukup menyentuh hatinya. Ia masih terpaut pada masa lalu ketika aku sudah
menganggap sosoknya sebagai masa depan. Ia masih belum melupakan masa lalunya,
ketika aku secara perlahan-lahan berusaha menyembuhkan lukanya yang perih.
Aku belum berhasil
seutuhnya.
Ah, mungkin aku masih
harus terus berjalan dan berjuang lebih dalam. Aku akan terus berjuang, sampai
ia juga menganggapku masa depan, seperti aku selalu menganggap dia sebagai
bagian masa depanku.
Cinta butuh waktu.
Butuh waktu untuk membuat ia segera melupakan masa lalunya kemudian
mencintaiku. Butuh waktu untuk membuat ia memahami, ada cinta yang lebih masuk
akal untuk ia percayai.
Cinta memang butuh
waktu...