Senin, 29 September 2014

Jika Aku Tak Berbeda Seperti Yang Kau Bilang



Di ujung malam seperti ini, perempuan pada umumnya sudah berada di tempat tidur. Menarik selimutnya sampai menutup bahu untuk menghindari dingin malam yang mencekam atau dinginnya air conditioner kamar. Ini salahku jika sampai saat ini aku belum terpejam, aku selalu sulit mencari kantuk. Entah mengapa sulitnya mencari kantuk sama seperti sulitnya memahami keinginanmu.

Saat menulis ini, aku habis memerhatikan isi kicauanmu bersama seseorang yang tak kukenal. Seseorang yang tampak mesra denganmu, dalam tutur kata, entah dalam dunia nyata. Aku menebak-nebak dan karena teka-teki itulah aku jadi terlukaparah. Seharusnya tak perlu kuikuti rasa keingintahuanku. Tak perlu lagi kucari-cari kabarmu dari sudut dunia maya itu, tempat segala kemesraan bisa terjalin tanpa kutahu, apakah itu nyata atau drama belaka.

Begitu cepat kau dapat yang baru, sayang. Sementara disini, aku masih menunggu kamu pulang. Aku tak temukan tangis dalam hari-harimu, nampaknya setelah perpisahan kita, kamu terlihat baik-baik saja. Tak ada luka. Tak ada kegalauan. Tak ada duka. Kamu masih bisa tertawa, aku tak tau lelaki macam apa yang dulu pernah kucintai dengan sangat hati-hati.

Hampir setiap malam atau bahkan setiap saat, aku masih sering merindukanmu. Mengingat betapa dulu kita pernah baik-baik saja. Aku pernah kaubahagiakan, kau beri senyuman, kaubuat tertawa, juga terluka. Pada pertemuan kita belasan minggu yang lalu, kamu menggenggam jemariku seakan memberitahu bahwa kamu tak ingin melepaskanku. Kamu menatap mataku sangat dalam bahkan tak menggubris blackberry-mu yang penuh dengan chat dan panggilan. Saat itu, aku merasa begitu spesial, dengan begitu penting bagimu. Dan, inilah salahku, mengharapkanmu yang terlalu tinggi.

Jujur, mungkin memang saat ini aku tak lagi mencintaimu. Tapi, sisa-sisa sakit itu masih ada. Aku belum bisa menerimamu menjauh tiba-tiba seperti itu. Mengapa aku tak bisa menerima semua secepat kamu menerima perpisahan kita? Karena, kamulah yang meninggalkanku lebih dulu, menuduhku punya banyak orang yang bisa kujadikan pelarian, mendakwa aku yang berkhianat. Sayang, sungguh aku tak paham maumu. Apa matamu begitu buta untuk melihat bahwa dulu, waktu masih bersamamu, hanya kaulah satu-satunya yang ku perjuangkan dan kuharapkan?

Ingat, kamu pernah bilang bahwa kamu mencintaiku seutuhnya. Sebagai perempuan yang terlalu senang diberi harapan, aku tersenyum sambil memainkan rambutmu. Aku bersandar dibahumu, sementara tatapan matamu kembali sibuk dengan blackberry kesayanganmu. Kamu merangkulku sembari jemari kirimu membalas chat dari teman-temanmu. Kamu tau apa yang kurasakan saat itu? Rasanya aku tak pernah ingin kehilangan kamu, bahkan membayangkannya aku terlalu takut.

Malamnya, semua kebersamaan manis kita, yang kuingin bisa lebih lama itu, berakhir hanya dengan percakapan beberapa menit. Tiba-tiba, kaubilang aku ini berbeda. Tiba-tiba kaubilang aku terlalu sempurna untukmu. Tiba-tiba kaukatakan bahwa semua tak bisa lagi kita jalani. Kenapa baru sekarang kamu ucapkan bahwa kebersamaan kita tak akan bertahan lama? Selama ini kamu kemana? Selama kamu begitu rajin bilang cinta dan rindu.

Jika aku tak berbeda seperti yang kau bilang, apakah kauakan mencintaiku sedalam aku mencintaimu?

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar